Oleh Dr. H. Afrizen,S.Ag.,M.Pd
Bogor – Pada hari Rabu, 14 Agustus 2024, kegiatan moderasi beragama Angkatan VI bagi ASN Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah dilanjutkan dengan pembahasan penting mengenai “Sketsa Kehidupan Keberagaman Indonesia”. Diskusi ini dilaksanakan bersama Alissa Wahid yang menyoroti kompleksitas kehidupan beragama di Indonesia, yang merupakan negara dengan masyarakat yang religius dan sangat majemuk. Meskipun Indonesia bukanlah negara agama, kehidupan beragama sangat lekat dalam keseharian masyarakat, dan kemerdekaan beragama dijamin oleh konstitusi. Namun, menjaga keseimbangan antara hak beragama dan komitmen kebangsaan menjadi tantangan yang tidak mudah bagi setiap warga negara.
Indonesia adalah negara dengan keberagaman yang sangat kaya. Keberagaman ini mencakup berbagai aspek, mulai dari agama, budaya, suku, hingga bahasa. Dalam konteks ini, moderasi beragama menjadi kunci untuk menjaga keharmonisan di tengah perbedaan yang ada. Namun, realitanya, menjaga keseimbangan antara hak beragama dan komitmen terhadap bangsa sering kali menghadirkan tantangan yang cukup kompleks. Setiap warga negara diharapkan dapat mengedepankan sikap moderat, toleran, dan inklusif dalam menjalani kehidupan beragama, tanpa mengesampingkan identitas kebangsaan mereka.
Dalam pembahasan kali ini, peserta diajak untuk mengidentifikasi tiga tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam menjaga keberagaman. Tantangan pertama adalah berkembangnya cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang berlebihan atau ekstrem. Ekstremisme ini sering kali mengesampingkan martabat kemanusiaan, yang seharusnya menjadi inti dari setiap ajaran agama. Dalam banyak kasus, sikap ekstrem ini memicu tindakan intoleran dan diskriminatif yang merusak tatanan sosial. Tantangan ini menjadi semakin besar di era digital, di mana paham-paham ekstrem mudah tersebar melalui media sosial dan internet.
Tantangan kedua yang dihadapi Indonesia adalah berkembangnya klaim kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama. Sering kali, klaim ini dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan politik, yang pada akhirnya memicu konflik antar kelompok agama. Ketika agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi, potensi terjadinya konflik menjadi sangat besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa pentingnya menjaga tafsir agama tetap objektif dan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Tantangan ketiga adalah berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan terhadap bangsa dan negara. Semangat ini sering kali memisahkan agama dari identitas kebangsaan, yang pada akhirnya merusak persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam situasi ini, moderasi beragama menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa semangat beragama tetap sejalan dengan semangat kebangsaan. Hal ini memerlukan pendekatan yang hati-hati dan bijaksana dari setiap individu, terutama dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan agama dan kepentingan nasional.
Selain tiga tantangan tersebut, Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan lain dalam moderasi beragama. Dinamika otonomi daerah, misalnya, sering kali memicu kebijakan-kebijakan lokal yang tidak sejalan dengan semangat moderasi beragama. Otonomi daerah yang seharusnya memperkuat demokrasi lokal, terkadang malah menjadi lahan subur bagi munculnya peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu. Ini menunjukkan bahwa moderasi beragama tidak hanya penting di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal.
Perkembangan paham keagamaan yang semakin beragam juga menjadi tantangan tersendiri. Paham-paham baru yang muncul sering kali menantang paham-paham yang sudah ada, yang jika tidak dikelola dengan baik, bisa menimbulkan ketegangan di masyarakat. Penegakan hukum dan demokrasi juga menjadi tantangan penting. Penegakan hukum yang lemah dalam menangani kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi agama dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Selain itu, proses demokratisasi yang belum matang terkadang dimanfaatkan oleh kelompok mayoritas untuk memaksakan kehendak mereka atas kelompok minoritas, yang dikenal sebagai mayoritarianisme. Fenomena ini menimbulkan ketidakadilan dan memperparah ketegangan sosial di tengah masyarakat yang majemuk.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, peran ASN Kementerian Agama menjadi sangat vital. Sebagai ujung tombak pelayanan publik dalam hal keagamaan, ASN Kementerian Agama dituntut untuk mampu mengelola keberagaman dengan bijaksana. Mereka harus menjadi pelopor dalam mempromosikan moderasi beragama, baik melalui kebijakan, program, maupun tindakan nyata di lapangan. ASN Kementerian Agama diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang dapat mendorong masyarakat untuk hidup rukun dalam keberagaman, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.
Kegiatan ini menegaskan kembali bahwa Indonesia ada karena keberagaman, dan tanpa keberagaman, Indonesia bukanlah Indonesia. Moderasi beragama menjadi salah satu pilar utama dalam menjaga keutuhan bangsa. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat, terutama ASN Kementerian Agama, harus berkomitmen untuk terus mempromosikan moderasi beragama sebagai kunci untuk menjaga persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman yang ada. Melalui pemahaman yang mendalam dan sikap yang inklusif, diharapkan Indonesia dapat terus menjadi contoh negara yang berhasil mengelola keberagaman dengan baik. (Afrizen)