Padang — Sapaan lembut dan senyum teduh selalu menyertai langkah dr. Pratiwi M. Nur, Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) Kloter 9 PDG. Di tengah ribuan jemaah yang bertarung dengan cuaca panas dan stamina yang terkuras di Tanah Suci, kehadiran dr. Tiwi menjadi penyejuk dan penyemangat. Tak heran, jemaah pun menyebut, “Senyum dr. Tiwi sudah menjadi obat bagi kami.”
Perempuan 36 tahun yang akrab disapa Buk Tiwi ini sehari-hari bertugas di Puskesmas Andalas, Padang. Namun tahun 2025 ini, ia diberi amanah besar: mendampingi 417 jemaah haji Kloter 9 PDG untuk menjalankan rukun Islam kelima. Amanah yang ia jawab dengan sepenuh hati.
“Saya bersyukur karena semua jemaah Kloter 9 pulang dengan selamat, sehat, dan lengkap. Itu doa dan harapan saya sejak awal,” ujar dr. Tiwi saat ditemui Humas Asrama Haji Padang usai penyambutan jemaah di Aula Makkatul Mukarramah pada jumat (27/06/2025) sore.
Dalam menjalankan tugas, dr. Tiwi memegang tiga kiat utama: pertama, meluruskan niat bahwa dirinya adalah pelayan tamu Allah; kedua, membangun kerja sama tim yang solid bersama rekan kloter; dan ketiga, aktif melakukan edukasi dan deteksi dini masalah kesehatan.
Menurutnya, edukasi menjadi senjata penting karena keterbatasan tenaga medis. “Kami harus bisa mencegah jemaah jatuh sakit sebelum kondisinya berat. Maka edukasi dan pemantauan sejak awal itu wajib,” ujarnya.
Ia juga punya kebiasaan khusus—meminta doa dari jemaah. “Doakan kami sehat, agar bisa terus mendampingi Bapak dan Ibu,” pintanya dengan senyum yang tak pernah hilang, bahkan saat tubuhnya kelelahan.
Pengalaman paling dramatis ia alami ketika harus mencari taksi di jalan raya untuk dua jemaah yang mengalami kondisi medis gawat darurat. Satu mengalami gangguan paru akut, satunya lagi epilepsi. Ambulans sektor tidak keburu datang, sementara waktu begitu mendesak. Tanpa ragu, ia berlari di tengah jalan bersama petugas lain, mendorong kursi roda sambil mencari taksi.
“Fisik memang lelah, tapi hati kami tidak pernah lelah. Justru hati yang kuat itulah yang bisa menguatkan jemaah,” ujarnya penuh keyakinan.
Sikap tenangnya menjadi energi positif bagi jemaah. Salah satunya Zalfi (62), jemaah asal Bukittinggi, yang merasakan betul dampak kehadiran dr. Tiwi. “Ketika saya sakit dan takut tidak bisa melanjutkan ibadah, dr. Tiwi datang dengan senyum. Rasa takut saya langsung hilang,” katanya.
Zalfi menyebut dr. Tiwi sebagai dokter yang luar biasa sabar. “Pasiennya lebih dari 400 orang, tapi tetap senyum dan sabar. Tidak pernah marah,” tambahnya.
Apresiasi serupa juga datang dari Ruslan, jemaah asal Kota Solok. “Pelayanan Bu Tiwi itu terbaik. Apapun keluhan kami langsung ditanggapi. Siang, malam, selalu ada. Dan senyumnya itu, selalu hadir,” ujarnya.
Bahkan ketika ada jemaah yang harus dirawat di Madinah, dr. Tiwi tanpa ragu meminta izin untuk menginap di rumah sakit dan mendampingi jemaah secara intensif. Ia bahkan meminta maaf kepada jemaah lainnya karena tak bisa hadir secara penuh di waktu yang sama.
Koordinasi apik bersama Pak Yayan, rekan sesama petugas kesehatan, juga menjadi kunci. Keduanya dinilai jemaah sebagai “tim medis terbaik.” “Kalau diberi nilai, mereka kami beri nilai 10,” kata salah satu jemaah lainnya.
Puncak apresiasi terhadap dr. Tiwi terjadi saat penyerahan piagam penghargaan oleh PPIH Debarkasi Padang. Aula sontak bergemuruh oleh tepuk tangan. Beberapa jemaah berdiri sambil menyeka air mata. Tepuk tangan itu bukan hanya bentuk penghormatan, tapi ungkapan cinta dan rasa terima kasih yang tulus.
“Saya sangat bersyukur dan terharu. Semua jemaah sudah seperti keluarga. Kami bekerja bukan karena status, tapi karena cinta,” tutur dr. Tiwi, dengan mata yang mulai berkaca.
Di akhir penyambutan, sejumlah jemaah kembali menghampiri dr. Tiwi. Ada yang bersalaman, ada yang memeluk, dan tak sedikit yang menunduk penuh rasa terima kasih. Dalam keheningan itu, tersimpan makna yang dalam: dr. Tiwi telah menjadi bagian dari hidup mereka.
Di tengah padatnya pelayanan haji, di antara panasnya gurun dan beribu tantangan kesehatan, hadir sosok dr. Tiwi dengan senyum yang tidak pernah pudar. Senyum yang tak hanya memberi semangat, tapi juga menyembuhkan.
Bukan karena gelar dokternya, bukan pula karena keahliannya membuat resep obat, tapi karena satu hal yang jarang dimiliki semua orang: ketulusan.
Dan untuk jemaah Kloter 9 PDG, senyum itu akan selalu dikenang. Sebagai senyum penyelamat, senyum pelayan sejati tamu-tamu Allah. (HumPro)