Padang – Di tengah riuh rendah kepulangan jemaah haji di Debarkasi Padang, seorang pria tua tampak cekatan menggelar lapak foto yang digelar diatas terpal spanduk ukuran 1 meter kali 5 meter. Usianya sudah 72 tahun, namun semangatnya tetap menyala. Dialah Las Kardi, sosok yang selama 30 tahun setia mengabadikan momen-momen jemaah haji. Tahun ini menjadi musim haji ke-30 baginya sebagai fotografer keliling di embarkasi Padang— sebuah dedikasi panjang yang tak banyak disadari orang.
Las Kardi bukanlah fotografer biasa. Di usia yang tak lagi muda, ia masih rajin menenteng kameranya, menyapa jemaah, menawarkan jasa foto untuk mengabadikan detik-detik sebelum keberangkatan ke Tanah Suci dan menjajakan hasil cetakan fotonya kepada jemaah. Baginya, setiap musim haji adalah kesempatan baru untuk berkarya dan tetap merasa hidup. “Bukan untuk uang, saya hanya tidak mau jadi orang tua yang pikun,” ujarnya sembari tersenyum.
Kecintaannya pada dunia fotografi bermula sejak usia muda. Dahulu, di era saat kamera masih menjadi barang langka dan foto adalah sesuatu yang istimewa, Las Kardi mulai menekuni profesi ini. Ia menjadi fotografer keliling untuk acara wisuda, seminar, dan berbagai kegiatan di Kota Padang. Saat musim haji tiba, ia mengalihkan fokus ke embarkasi dan menawarkan jasanya kepada jemaah.
Dulu, pekerjaan ini sangat menjanjikan. Setiap foto memiliki nilai yang tinggi karena tidak banyak orang yang memiliki kamera. Namun, zaman terus berubah. Kini, hampir setiap orang membawa ponsel berkamera. Meski begitu, Las Kardi tetap bertahan. “Sekarang sudah banyak saingan dari HP, tapi tetap saja ada yang suka dicetak dan dibawa pulang,” katanya.
Setiap kloter yang tiba di Embarkasi Padang, rata-rata menghasilkan penghasilan sekitar Rp300 ribu hingga Rp400 ribu baginya. Dengan total 15 kloter yang diberangkatkan, Las Kardi bisa mengumpulkan sekitar enam juta rupiah setiap musim haji. Namun, ia tidak pernah melihat angka itu sebagai tujuan utama. “Kalau soal uang, mungkin saya sudah pensiun dari dulu,” ujarnya tenang.
Ia masih menggunakan kamera type canon yang sudah berusia 10 tahunan dan langsung mencetak hasil jepretarannya serta meletakan hasil fotonya. Satu lembar foto dihargai Rp10 ribu. Jika ada yang tidak membeli, foto-foto itu tetap ia simpan. “Buat kenang-kenangan saja,” katanya sambil terkekeh. Ia menyebut, menyapa jemaah dan mengabadikan senyuman mereka adalah kebahagiaan tersendiri.
Yang membuatnya tetap bertahan adalah suasana unik yang hanya ada di embarkasi. “Ekosistem haji hidup di sini,” ucapnya. Mulai dari petugas, jemaah, hingga keluarga yang mengantar, semuanya menciptakan momen yang tak bisa ditemukan di tempat lain. Las Kardi merasa menjadi bagian dari suasana sakral tersebut.
Setiap jemaah yang datang, disambutnya dengan ramah. Ia menawarkan jasa foto dengan tutur yang sopan dan penuh semangat. Tidak sedikit jemaah yang mengenalnya karena telah berkali-kali berangkat haji dari Embarkasi Padang dan pernah difoto olehnya di masa lalu. Las Kardi menjadi saksi sejarah perjalanan banyak keluarga.
Ketika musim haji selesai, Las Kardi kembali ke keseharian sederhana. Ia membantu anaknya mengelola konter kecil di rumah. Di sana, ia menjual pulsa, melayani transfer uang, hingga menjual aksesori HP. “Biar tetap sibuk, biar otak dipakai,” katanya. Ia meyakini, sibuk bekerja adalah cara terbaik untuk menjaga ingatan dan kebugaran tubuh.
Meski penghasilan tidak sebesar dulu, ia tak pernah mengeluh. Justru, ia bersyukur masih bisa berinteraksi dengan banyak orang dan tetap melakukan sesuatu yang ia cintai. Baginya, setiap foto yang dicetak bukan sekadar lembaran gambar, tapi serpihan sejarah yang ia ikut rawat dan abadikan.
Kisah Las Kardi adalah potret ketekunan dan cinta pada profesi yang sederhana. Ia menjadi simbol dari mereka yang bekerja bukan semata-mata demi materi, tetapi demi nilai dan makna hidup. Fotografi baginya adalah jalan untuk tetap merasa dibutuhkan dan berarti.
Di tengah derasnya arus teknologi digital dan kamera ponsel yang semakin canggih, Las Kardi membuktikan bahwa kehangatan pelayanan, kesabaran, dan sentuhan manusia tetap memiliki tempat di hati banyak orang. Jasa fotonya mungkin sederhana, namun makna di baliknya jauh lebih dalam.
Di setiap musim haji, Las Kardi hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari suasana haru di embarkasi dan debarkasi. Ia hadir bukan sekadar sebagai fotografer, tapi juga sebagai penjaga kenangan, perekam sejarah, dan saksi atas perjalanan spiritual ribuan jemaah dari Ranah Minang.
Kini, setelah tiga dekade berdiri di balik lensa, Las Kardi masih belum ingin berhenti. Selama tubuhnya kuat dan matanya masih bisa melihat dengan jelas, ia akan terus menyapa jemaah, menawarkan jasa foto, dan mengabadikan momen suci dalam secarik kertas bergambar. (HumPro)