Padang — Suasana haru menyelimuti kedatangan jemaah haji Kloter 7 Padang di Asrama Haji Padang, Senin (23/6/2025). Isak tangis dan pelukan hangat keluarga mewarnai pertemuan setelah 42 hari berpisah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Namun, ada yang tak kalah menyentuh dan menarik perhatian di tengah hiruk-pikuk kepulangan itu: aroma khas Sate Padang yang menggoda selera dan pengobat rindu akan kampung halaman.
Kepulangan jemaah haji Debarkasi Padang telah berlangsung sejak 12 Juni 2025. Asrama Haji Padang menjadi titik penting pertemuan pertama jemaah dengan keluarga sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke daerah asal. Di sinilah berbagai momen emosional dan unik kerap terjadi—termasuk rindu yang tak hanya dilepaskan lewat pelukan, tetapi juga lewat rasa.
Bagi jemaah asal Sumatera Barat, rindu akan Tanah Air bukan sekadar soal tempat dan keluarga. Lidah Minangkabau yang terbiasa dengan kekayaan rempah dan cita rasa khas masakan Minang seakan “berpuasa rasa” selama lebih dari sebulan di Arab Saudi. Meski konsumsi harian selama ibadah haji cukup memadai, tetap saja rasa makanan tanah kelahiran tak tergantikan.
Salah satu yang sangat merindukan kuliner kampung adalah Yulinar, 67 tahun, jemaah asal Kabupaten Agam yang tergabung dalam Kloter 7 PDG. Ia mengaku sudah memesan kepada keluarga sejak masih di Makkah: tolong bawakan sate Padang ke Asrama Haji. Rindu rasa dan aroma bumbu kental yang hanya bisa ditemukan di Ranah Minang tak terbendung olehnya.
Saat dijumpai di dalam bus sebelum bertolak menuju daerah asal, Yulinar tampak haru sambil memegang sebungkus sate padang. Air matanya jatuh bukan hanya karena telah sampai di tanah air dengan selamat, tetapi juga karena bisa menyantap kembali makanan yang sangat ia rindukan. “Alhamdulillah… sate Padang! Ini baru benar-benar pulang,” ujarnya dengan suara bergetar.
Tak jauh dari Yulinar, suasana serupa juga dialami oleh Tomida, 64 tahun. Ia mengapresiasi konsumsi selama di Arab Saudi yang menurutnya cukup baik, bahkan beberapa masakan disesuaikan dengan lidah jemaah Indonesia. Namun bagi Tomida, rasa tetaplah rasa. “Enak sih, tapi bukan rasa Minang. Lidah ini tetap mencari sate Padang,” katanya sambil tersenyum puas setelah menyuap suapan pertama.
Ia juga mengungkapkan bahwa momen menyantap sate Padang ini menjadi penutup manis sebelum pulang ke kampung halaman. “Sate Padang ini terasa seperti pelengkap ibadah. Setelah raga kembali ke tanah air, lidah pun kembali pulang,” tambahnya.
Keluarga jemaah tampak antusias memenuhi permintaan tersebut. Beberapa bahkan datang dari jauh-jauh membawa pesanan khusus berupa sate Padang khas Minang. Sate Padang memang memiliki tempat tersendiri di hati para jemaah. Makanan ini dianggap sebagai ikon rasa yang mewakili rindu dan kehangatan rumah.
Dr. H. Afrizen Kepala UPT Asrama Haji Embarkasi Padang menyebutkan, fenomena seperti ini kerap terjadi setiap musim kepulangan haji. “Banyak jemaah yang bahkan lebih dulu meminta dibawakan masakan rumah sebelum mereka minta dijemput,” ujarnya. Hal ini menunjukkan betapa eratnya hubungan emosional masyarakat Minang dengan budaya kuliner mereka.
Makanan, dalam konteks ini, bukan sekadar pelengkap fisik, tapi menjadi jembatan spiritual dan emosional yang menghubungkan jemaah dengan tanah kelahiran. Ketika rasa bertemu dengan kenangan, maka terwujudlah momen pulang yang utuh: jiwa, raga, dan lidah.
Kisah kepulangan jemaah haji tahun ini tidak hanya dihiasi oleh kisah spiritual dan tangis haru, tetapi juga oleh kelezatan dan nostalgia. Di Asrama Haji Padang, sate Padang menjadi simbol sederhana dari cinta yang dibawa pulang—sepotong rasa yang menghangatkan pertemuan setelah perjalanan panjang dan suci.
Dan di situlah, di antara pelukan dan suapan, jemaah benar-benar merasa: “Kami telah kembali ke rumah.” (HumPro)